Kelahiran seorang anak perempuan bisa menjadi momok mengerikan bagi sebagian masyarakat di daerah pantai utara (pantura) Jawa, tapi dipandang sebagai barang komoditi yang laku di jual. Dari hasil penelitian Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atmajaya, Jakarta, di Indramayu misalnya, anak perempuan dianggap sebagai karunia terbesar karena bisa menjadi harapan orang tua untuk keluar dari kemiskinan. Meskipun untuk mewujudkan harapan tersebut, sang anak gadis harus jadi Pekerja Seks (PS).

Fenomena yang menarik adalah pernikahan bisa menjadi salah satu cara PS meninggalkan dunia pelacuran. Namun "perkawinan" di Indramayu, perempuan menjadi "istri" di bawah tangan/gendak dari seorang laki-laki yang dapat membiayai seluruh kehidupan PS dan keluarganya. Dengan cara ini, PS bisa keluar dari pelacuran dan pulang ke rumah di desa dan hanya melayani satu laki-laki saja. Namun bila laki-laki yang bersangkutan telah bosan dan tidak lagi mau atau mampu membiayai kehidupannya, ia akan kembali menjadi PS.
Dalam seminar Kaitan Faktor Sosial-Ekonomi terhadap Masuknya Perempuan dalam Industri Seks dan dampaknya pada Kesehatan Reproduksi di Aula Unika Atmajaya, Kepala PKPM Unika Atmajaya, Dr Clara Ajisukmo, MSc, menjabarkan, faktor kemiskinan atau kesulitan ekonomi sering dikambinghitamkan sebagai penyebab kaum perempuan memasuki industri seks. Padahal, kemiskinan bukan satu-satunya faktor pendorong perempuan masuk ke duania prostitusi.

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan sejak akhir Nopember 2002 hingga pertengahan Pebruari 2003 yang mengambil daerah penelitian di Indramayu, Jepara dan Banyuwangi dengan lokasi kerja di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, diketahui bahwa 87 % perempuan menjadi PS karena kemauan sendiri. Yang tidak atas kemauan sendiri biasanya karena ditipu oleh saudara, tetangga dan teman bermain. Alasan pendorong adalah butuh uang, sedang alasan penarik adalah ingin punya uang banyak atau hidup mewah

0 comments:

Posting Komentar