Untuk menjawab kasus ini kita harus memilahkan terlebih dahulu manath hukmi tentang haramnya melihat aurat wanita, dengan manath hukmi melihat gambar aurat wanita. Fakta aurat wanita berbeda dengan gambar aurat wanita. Oleh karena itu, sangatlah salah menganalogkan hukum melihat aurat wanita dengan hukum melihat gambar aurat wanita. Sebab, fakta (manath hukmi) keduanya jelas-jelas berbeda. Namun, agar kita mendapatkan gambaran utuh mengenai hukum melihat gambar porno, kami perlu menjelaskan hal-hal mendasar berikut ini;



Yang perlu diperhatikan adalah, hukum syara’ adalah hukum syara’ bagi kasus tertentu. Hukum syara’ bagi satu kasus hanya berlaku untuk kasus itu saja, dan tidak berlaku bagi kasus lain yang faktanya berbeda. Kita tidak boleh menggeneralkan hukum syara’ bagi kasus tertentu untuk kasus yang lain, kecuali bila dalil itu bersifat umum.
Misalnya, berzina itu hukumnya haram. Keharamannya telah ditunjukkan dengan sangat jelas di dalam al-Quran dan Sunnah. Allah swt berfirman,

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”[al-Nuur:2}

Fakta zina sendiri telah didefinisikan oleh para ‘ulama, yakni masuknya farji ke dalam kemaluan wanita (vagina) yang tidak halal baginya. Ini adalah fakta zina yang akan terkena had dari Allah swt, yakni 100 kali jilid bagi pezina ghairu muhshon, dan rajam hingga mati bagi pezina muhshon. Adapun masuknya farji buatan (alat bantu sex) ke dalam vagina seorang wanita, baik dilakukan sendiri (masturbasi), atau dilakukan oleh wanita lain, atau laki-laki lain (bukan mahram maupun mahram), tidak akan terkena ayat di atas.

Ayat di atas, maupun nash-nash yang berbicara tentang zina tidak berlaku untuk fakta semacam ini. Sebab, dari sisi fakta tindakan memasukkan farji buatan ke dalam vagina bukanlah fakta dari zina. Demikian juga bila seorang laki-laki memasukkan farjinya ke dalam vagina buatan (boneka) tentu tindakan laki-laki ini tidak terkategori perbuatan zina yang harus dikenai had zina (100 kali jilid, atau rajam hingga mati).

Sebab, tindakan laki-laki ini tidak termasuk perbuatan zina. Selain itu, dari sisi fakta, apa yang dilakukan oleh laki-laki ini berbeda dengan fakta perzinaan yang disebut di dalam nash-nash syara’.

Hukum melihat babi berbeda dengan hukum memakan daging babi. Meskipun objeknya sama, akan tetapi karena perbuatannya berbeda maka hukumnya juga berbeda. Memakan daging babi, jelas-jelas diharamkan berdasarkan nash-nash yang sharih. Sedangkan melihat babi berhukum boleh tidak haram, berdasarkan nash-nash umum yang membolehkan manusia melihat, dan juga perbuatan Nabi dan para shahabat.

Demikian pula melihat aurat wanita (secara langsung) jelas berbeda dengan melihat gambar aurat wanita. Jika faktanya berbeda, maka secara hukum juga berbeda. Melihat aurat wanita asing jelas-jelas haram berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kita tidak boleh menyamaratakan antara hukum melihat aurat wanita asing dengan melihat gambar aurat wanita asing. Sebab, dari sisi fakta, kedua aktivitas itu sangatlah berbeda. Gambar aurat wanita bukanlah aurat wanita.

Secara umum, syara’ telah membolehkan melihat semua hal yang ada di muka bumi ini. Bolehnya melihat apa yang ada di muka bumi ini tidak akan berubah, kecuali ada nash-nash khusus yang mengharamkannya. Kaedah ushul menyatakan, “al-Umum yubqa fi ‘umumihi maa lam yarid dalil al-takhshish.”[Umum itu tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya].

Berdasarkan nash-nash umum ini, manusia dibolehkan melihat langit, bumi, pohon, babi, anjing, berhala, khamer, orang munafik, orang kafir, wanita, dan pria. Kita juga diperbolehkan melihat perzinaan jika tujuannya untuk membangun kesaksian di hadapan qadliy. Berdasarkan nash-nash umum juga, kita diperbolehkan melihat dan menyaksikan foto langit, foto wanita, foto pria, dan juga benda-benda lainnya.

Larangan melihat hanya berlaku pada konteks-konteks yang dilarang oleh syara’. Misalnya, seorang laki-laki haram melihat aurat wanita asing. Namun ia boleh melihat aurat isterinya, ataupun mahramnya. Kaum muslim juga dilarang menyaksikan kemungkaran, tanpa disertai dengan upaya untuk melenyapkannya baik dengan tangan, lisan, maupun hatinya; dan lain-lain.
Haramnya melihat aurat wanita maupun laki-laki asing telah dinyatakan dengan sangat jelas oleh Allah swt. Allah swt berfirman, artinya, “

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".[al-Nuur:30]
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.[al-Nuur:31]
Adapun dalil-dalil umum yang membolehkan manusia melihat apa yang ada di muka bumi adalah sebagai berikut’

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Al Qur'an itu?”{al-A’raf:185]

“Dan jika kamu sekalian menyeru (berberhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya. Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu padahal ia tidak melihat”.[al-A’raf:198]

“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".[Yunus:110]

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?[Yusuf:109]
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang (nya),[al-Hijr:16]

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.[Al-Ruum:9]

Katakanlah: "Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)".[Al-Ruum:42]

Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.[al-Zukhruf:25]

Berdasarkan ayat-ayat ini hukum melihat benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Foto adalah benda yang ada di muka bumi ini. Oleh karena itu, ia termasuk ke dalam keumuman ayat-ayat di atas. Walhasil, melihat foto apapun, hukum asalnya adalah mubah. Foto di sini –yang boleh dilihat-- tidak dibatasi hanya foto tumbuhan dan hewan yang halal saja. Akan tetapi semua tumbuhan dan hewan, baik yang halal maupun yang haram. Kita tidak bisa menyatakan bahwa khamer, babi, dan darah adalah benda-benda haram, berarti, melihat fotonya juga berhukum haram.

Tidak bisa dinyatakan seperti itu. Sebab, yang diharamkan adalah memakan daging babi, darah, dan meminum khamer, serta hal-hal lain yang diharamkan (menjualnya, dan membeli), bukan melihatnya. Rasulullah saw sendiri tatkala di Mekah melihat dan menyaksikan berhala-berhala yang ada di Ka’bah, beliau saw juga menyaksikan penduduk Yaman (Nashrani) banyak yang mengkonsumsi khamer.

Beliau juga menyaksikan darah tertumpah saat menyembelih hewan kurban. Para shahabat juga menyaksikan babi-babi yang dipelihara oleh orang-orang kafir. Ini menunjukkan bahwa melihat benda-benda yang diharamkan untuk dimakan, hukumnya berbeda dengan memakan benda-benda yang diharamkan tersebut. Tidak bisa digeneralkan, kalau memakannya tidak boleh berarti melihatnya juga tidak boleh.
Jika melihat langsung saja boleh, tentunya melihat foto darah, foto khamer juga diperbolehkan.

Demikian juga foto manusia. Foto di sini tidak dibatasi foto wanita dan pria muslim saja, akan tetapi semua foto manusia. Sebab, Rasulullah saw juga melihat secara langsung orang-orang kafir, baik wanita maupun pria.

Foto yang boleh dilihat juga tidak dibatasi apakah menutup aurat atau tidak. Sebab, larangan yang berhubungan dengan aurat, hanya melihatnya saja secara langsung. Nash-nash menunjukkan pengertian ini dengan sangat jelas. Cobalah anda perhatikan ayat-ayat di bawah ini;
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".[al-Nuur:30]

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.[al-Nuur:31]

Walhasil tidaklah sama, antara fakta melihat aurat wanita secara langsung dengan melihat foto aurat wanita. Foto aurat wanita berbeda dengan aurat wanita sendiri. Tidak ada nash syara’ yang menerangkan secara khusus hukum melihat foto, sebab foto sendiri adalah barang baru yang tidak ada di masa Rasulullah saw. Karena tidak ada nash syara’ yang menjelaskan secara khusus hukum melihat foto, maka hukum melihat foto harus dikembalikan kepada nash-nash umum yang membolehkan manusia melihat apa yang ada di muka bumi ini.

Ada yang menyatakan bahwa Rasulullah saw telah melarang kaum muslimin menggambar makhluk hidup yang bernyawa. Mereka menyamakan antara foto dengan gambar. Walhasil, ada dalil khusus yang melarang melihat foto, sebab Rasulullah saw telah melarang kaum muslim menggambar makhluk yang bernyawa.

Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, fakta menggambar, berbeda dengan fakta memfoto. Aktivitas menggambar sangat berbeda dengan aktivitas memfoto. Rasulullah saw hanya mengharamkan perbuatan menggambar, bukan memfoto. Walhasil tidak bisa disamakan antara gambar dengan foto. Selain itu, hukum melihat gambar bernyawa berbeda dengan hukum menggambar makhluk bernyawa. Hukum melihat gambar yang bernyawa adalah mubah. Berdasarkan riwayat bahwa ‘Aisyah pernah memasang tirai yang bergambar hewan, Rasulullah saw kemudian memerintahkan untuk mencopotnya. Kemudian tirai itu digunakan untuk sarung bantal. Ini menunjukkan bahwa melihat gambar makhluk yang bernyawa, hukumnya boleh. Jika melihat makhluk bernyawa tidak boleh, tentu tirai itu tidak akan dijadikan sebagai sarung bantal yang bisa dilihat setiap hari.

Atas dasar ini, kebolehan melihat foto porno didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum.
Ada yang menyatakan, melihat gambar porno akan berdampak negatif, dan mendorong seseorang untuk berbuat zina. Atas dasar itu, seorang muslim diharamkan melihat gambar porno.
Untuk menjawab statement ini kita bisa mengajukan argumentasi berikut ini;

Pertama, dugaan bukanlah dalil syara’. Bila syara’ telah menetapkan bolehnya melihat gambar porno, berarti hukum melihatnya tetap mubah. Jika, melihat gambar porno itu menimbulkan dampak-dampak buruk, maka berlaku kaedah “Al-wasilatu ilal haram muharram”. Namun, kaedah ini hanya berlaku bagi orang yang akan mendapatkan dampak buruk, atau terdorong berbuat keji, setelah melihat gambar porno. Tapi, tidak berlaku umum bagi orang yang tidak terdorong untuk berbuat keji.

Kedua. Bila seseorang terbersit niat keji –tatkala melihat gambar porno— itupun juga tidak berdosa, selama dia tidak mengerjakan niat keji itu. Rasulullah saw telah menyatakan, bahwa jika seorang berniat melakukan kemungkaran, kemudian ia tidak mengerjakan apa yang diniatkannya itu, maka ia tidak mendapatkan dosa. Dia akan mendapatkan dosa tatkala ia mengerjakan niat buruknya itu.

Ketiga, hukum melihat gambar porno tidak ubahnya dengan hukum melihat tayangan televisi. Di televisi kita, hampir-hampir tidak ada satupun acara yang tidak mengetengahkan adegan porno. Presenter wanita yang tidak mengenakan kerudung dan jilbab, sudah terkategori membuka aurat alias porno. Demikian juga dengan tayangan film, sinetron, dan lain sebagai. Seandainya para pengkritik pendapat yang membolehkan melihat gambar porno konsisten dengan pendapatnya, tentu ia harus menjauhi dari aktivitas menonton televisi. Pasalnya, televisi tersebut menayangkan gambar-gambar porno!

Akan tetapi, seluruh penjelasan kami ini tidak boleh dipahami bahwa kami mendorong dan menganjurkan kaum muslim untuk melihat gambar porno, karena status hukumnya yang mubah. Kami tetap menganjurkan agar kaum muslim menjauhi perbuatan itu sejauh-jauhnya. Pasalnya, selain menurunkan kehormatan, aktivitas melihat gambar porno bisa menyebabkan kita terperangkap oleh bayangan-bayangan keji. Masih banyak aktivitas lain yang lebih bermanfaat. Berdzikir, bermunajat, berpuasa, olah raga, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

1 komentar:

  1. ya saya sangat setuju.......penjelasan fiqh yang ckup detail ,,,,,,, tapi mubah bukan berarti harus dilakukan......

    BalasHapus