“Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” [42.27]

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, kalau saja Allah memberikan mereka rezeki yang melebihi kebutuhan mereka, pastilah hal itu akan membawa mereka untuk berbuat melampaui batas dan bertindak sewenang-wenang, sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dengan penuh kekejian dan kecongkakan. Allah memberikan rezeki kepada mereka dari apa yang telah Dia pilihkan untuk mereka, sesuatu yang mengandung kemaslahatan untuk mereka. Maka Dia memberikan kekayaan kepada orang yang berhak untuk mendapat kekayaan dan akan memberikan kemiskinan kepada orang yang berhak untuk mendapatkannya.


Mungkin kita belum juga mendapatkan rezeki yang melimpah karena kita memang belum berhak untuk kaya. Mungkin kita belum siap menjadi kaya, karena bisa saja jika kita mendapatkan rezeki yang lebih banyak dari yang kita miliki sekarang, justru akan membuat kita melampaui batas, berbuat maksiat, congkak, dan menjauhkan diri kita kepada Allah.

Jika menurut Robert T Kiyosaki, untuk menjadi kaya, langkah awal setelah melek finansial ialah dengan memperluas realitas (kapasitas) kita. Kapasitas yang dimaksud oleh Robert ialah kapasitas pemikiran. Tetapi ternyata, bukan hanya kapasitas pemikiran yang perlu kita perbesar, tetapi juga kapasitas ruhiah kita. Kita harus terus meningkatkan kapasitas ruhiah kita sehingga kita siap untuk diberikan rezeki yang lebih banyak tanpa harus melampau batas atau kita berhak menjadi orang kaya.

Marilah kita melihat kebelakang, instropeksi diri sejauh mana kapasitas ruhiah kita. Marilah kita teliti niat kita dalam mencari rezeki, sidahkah niat kita ikhlas? Sudahkah niat kita hanya mencari keridhaan Allah, sudahkah niat kita mencari rezeki untuk menunaikan kewajiban menafkahi keluarga? Sudahkan niat kita mencari rezeki untuk menegakkan kalimat tauhid di muka bumi? Mungkin saja, kita mencari rezeki agar mendapatkan penghormatan dari orang lain. Mungkin saja, kita mencari rezeki untuk bersikap sombong terhadap orang lain? Mungkin saja, kita mencari rezeki untuk melakukan kemaksiatan? Marilah kita berlindung kepada Allah dari perbuatan seperti ini.
Mungkin, Anda pernah berpikir atau mengatakan:

“Saya tidak bisa melakukannya.”
“Saya tidak mampu.”

Pernyataan ini menggambarkan suatu kondisi Anda. Pertanyaanya, kondisi kapan? Masa lalu atau masa depan?

“Oh tidak, pernyataan ini menggambarkan kondisi saya saat ini. Saya memang tidak bisa melakukannya saat ini.”

Mari kita tanyakan lagi, mengapa tidak bisa? Mengapa Anda pikir Anda tidak bisa?


“Karena kemampuan saya sekarang sebatas ini.”

Kenapa hanya sebatas ini?

“Inilah hasil belajar dan pengalaman saya selama ini.”

Hasil belajar dan pengalaman masa lalu kan?

“Iya sich.”

Jadi kondisi Anda saat ini adalah hasil dari masa lalu. Masa lalu dimulai dari detik ini ke belakang.

Lalu bagaimana dengan masa depan? Apakah Anda tidak bisa belajar lagi?

“Ya tentu, saya bisa belajar.”

Apakah Anda bisa melakukan hal baru jika belajar?

“Mungkin.”

“Mungkin” adalah starting point yang lebih baik dibanding kata “tidak bisa”. Kata “mungkin” mengandung sebuah harapan, sebaliknya kata “tidak bisa” memupus harapan.