Ada sebuah film yang sempat menarik perhatian saya. Ia berjudul Flat Liners. Di layar kaca HBO film ini sudah diputar lebih dari dua kali. Demikian tertariknya saya, sampai-sampai sempat menonton sampai dua kali. Film yang bertutur tentang eksperimen sejumlah mahasiswa kedokteran tentang kematian ini, cukup menggugah kesadaran saya akan makna hidup.

Betapa tidak menggugah, di gerbang kematian - sebagaimana dituturkan film ini - orang tidak membawa harta, nama besar, apa lagi pujian orang lain. Dan yang harus kita bawa adalah perbuatan-perbuatan kita selama hidup. Mengingat perbuatan setiap orang berbeda, maka dari lima mahasiswa kedokteran yang pernah mengalami kematian beberapa detik ini, pengalamannya amat berbeda.

Boleh saja sutradara film ini menyimpulkannya demikian. Namun, dari segi lain film ini menghadirkan makna berbeda bagi saya. Banyak orang sudah tahu, kalau gerakan alat pendeteksi jantung menunjukkan gerakan grafik yang berbeda, antara orang sehat dan sakit, apa lagi antara orang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Yang jelas, orang masih hidup memiliki gerakan grafik naik turun. Sedangkan orang sudah meninggal, bergerak datar tanpa siklus naik turun.

Ini memang pekerjaan teknologi. Tapi bagi saya ia menghadirkan perlambang makna yang tidak dangkal. Sebagaimana kita rasakan sendiri, setiap manusia hidup yang manapun selalu - sekali lagi selalu - menjalani siklus. Setelah suka ada duka. Sehabis gelap ada terang. Siang berganti malam. Masa berkuasa berganti masa pensiun. Tidak ada yang bisa melawan hukum ini. Kahlil Gibran bahkan menulisnya secara amat indah : 'ketika kita bercengkerama di kamar tamu dengan kebahagiaan, kesedihan sedang menunggu di kamar tidur'. Ini berati, kita hidup serumah dengan kebahagiaan dan kesedihan. Bagaimana kita bisa menghindar dan buang muka dari orang yang hidup serumah dengan kita ?

Tidak ada orang yang mengenal secara eksak apa yang terjadi setelah kematian. Namun, melihat paralel antara siklus gerakan alat pendeteksi jantung, dengan siklus hidup manusia yang mengenal naik turun, jangan-jangan kematian adalah awal dari kehidupan tanpa siklus. Dia datar dalam semua cuaca. Ini memang hanya sebuah spekulasi yang perlu pendalaman-pendalaman, dan pembuktian-pembuktian.

Pada sejumlah agama dan keyakinan yang saya tahu, kematian adalah awal dari proses pemurnian dan pembersihan. Atau dalam bahasa sebuah pilosopi timur, kembali ke titik nol. Di titik nol memang tidak ada positif maupun negatif. Tidak ada naik dan turun. Tidak ada besar dan kecil. Mirip dengan garis yang mendatar. Entah benar entah salah, inilah yang disebut sejumlah orang dengan terminologi seperti kemurnian, pencerahan, pembersihan jiwa.

Dalam posisi seperti ini, manusia tidak lagi memerlukan atribut-atribut seperti harta, kekuasaan, dan pujian. Semua ini menjadi tidak relevan, karena baik harta, kekuasaan, maupun pujian adalah angka-angka absolut yang mengenal siklus naik-turun. Lebih dari sekadar tidak butuh atribut, kemurnian dan pencerahan pada titik nol ini, juga menghadirkan kekebalan-kekebalan. Stres, penyakit, gangguan orang lain dalam bentuk apapun, tidaklah banyak pengaruhnya terhadap badan dan jiwa yang sudah sampai titik nol.

Dalam kejernihan saya ingin bertutur ke Anda, semuanya berawal dan berakhir di sini (baca : titik nol). Mirip dengan cerita Miyamoto Musashi, ketika Musashi dalam kebingungan berat dan kemudian bertanya ke gurunya. Sang guru hanya menjawab dengan sebuah gambar lingkaran di tanah.

Saya pribadi memang kadang bertemu titik nol tadi, kadang juga tidak. Maklum, masih menyandang status manusia hidup yang biasa. Lebih-lebih dalam tekanan-tekanan pekerjaan dan tekanan hidup yang berat. Siklus naik turun bergerak dalam ritme yang lebih besar dari biasanya. Akan tetapi, pada saat kita bisa melampaui suka-duka, naik-turun, kaya-miskin (sampai di titik nol), maka badan dan jiwa ini terasa amat ringan tanpa beban sedikitpun.

Mungkin lebih ringan dari kapas dan udara. Tidak ada beban masa lalu yang berat. Tidak ada ketakutan hari ini yang mengganggu. Apa lagi kekhawatiran akan masa depan. Semuanya hilang dan lenyap ditelan kesadaran.

Tentu ada yang bertanya, mampukah setiap orang mencapai titik nol ? Beban dan bekal orang hidup memang berbeda-beda. Ibarat berjalan jauh, ada yang membawa tas gendong berat, ada juga yang ringan. Dan yang membuat semuanya jadi berat dan ringan hanyalah satu : kualitas rasa syukur kita pada sang hidup dan kehidupan. Dalam kualitas rasa syukur yang tinggi, kesadaran muncul seperti sayap yang membuat semuanya jadi ringan.

Boleh saja ada orang yang meragukan hubungan antara rasa syukur dengan kesadaran. Dan bagi saya, dua hal ini seperti hubungan ibu anak. Rasa syukur adalah ibunya kesadaran. Coba saja perhatikan sendiri di lingkungan masing-masing, bukankah orang-orang yang tidak puas dan tidak pernah bersyukur, kesadarannya terbungkus oleh banyak sekali hal ? Keserakahan akan harta, terlalu bernafsu pada kekuasaan, kecemburuan pada prestasi orang lain, ketakutan kehilangan kursi kekuasaan, terlalu bernafsu untuk segera duduk di kursi kekuasaan, hanyalah sebagian bungkus kesadaran, yang diakibatkan oleh keringnya rasa sykur. Titik nol - sebagai awal dari semua hal - tentu saja amat dan teramat sulit dicapai dalam kehidupan seperti ini.

1 komentar:

  1. Rasa kesadaran untuk menyadari kesalahan kita itu merupakan perbuatan yang sangat hebat

    BalasHapus