Kebolehan mushafahah antara laki-laki dan wanita didasarkan argumentasi berikut ini.Pertama, riwayat yang dituturkan oleh Imam Bukhari dari ‘Ummu ‘Athiyyah. ‘Ummu ‘Athiyyah menyatakan:

“Kami telah membaiat Nabi saw. Beliau kemudian menyatakan kepada kamu untuk tidak menyekutukan Allah dan tidak akan meratap. Lalu, seorang wanita diantara kami menarik kembali tangannya.”[HR. Bukhari]


Bai’at dilakukan dengan cara berjabat tangan. Sedangkan kata,”qabadlat imraatun yadaaha” (menarik kembali tangannya), bermakna bahwa wanita tersebut telah menarik tangannya setelah benar-benar ingin membaiat Rasulullah saw dengan cara berjabat tangan. Artinya, wanita tersebut benar-benar ingin berjabat tangan dengan Rasulullah saw, akan tetapi ia menarik tangannya. Walhasil, redaksi hadits di atas ,” seorang wanita diantara kami menarik kembali tangannya,” bermakna bahwa, wanita-wanita lain selain wanita tersebut telah membaiat Rasulullah saw dengan cara berjabat tangan dan tidak menarik tangannya. Berdasarkan pemahaman terhadap hadits ini, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.

Kedua. Dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah mafhum dari firman Allah swt, artinya;

“..atau kalian menyentuh perempuan…”[QS. Al-Nisaa’:43]
Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita –tanpa diiringi dengan syahwat—bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah.

Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.

Namun, ada yang menyatakan bahwa hadits Ummu ‘Athiyyah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, Nasaiy , Ibnu Majah dan Ibnu Hibban yang menyatakan,
“Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita diantara kami.”
“Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya ucapanku untuk seratus wanita, sama halnya dengan ucapanku yang ditujukan untuk seorang wanita.”
Jawaban atas sanggahan ini sebagai berikut;

Sesungguhnya ada sebuah kaedah ushul yang menyatakan bahwa ,”inna ‘adam fi’l al-rasuul lisyain laisa daliilan syar’iyyan”. Artinya,”Sebenarnya perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah saw bukanlah dalil syara’. Sedangkan yang bisa dijadikan dalil syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Atas dasar itu, perkataan, ““Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita diantara kami.” “Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”, bukanlah dalil yang melarang mushafahah. Akan tetapi, hadits ini harus dipahami bahwa Rasulullah saw ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah saw selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah saw juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah saw tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau saw tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Demikian juga dengan kasus mushafahah. Meskipun Rasulullah saw tidak pernah melakukan mushafahah, bukan berarti mushafahah itu dilarang bagi kaum muslim. Sebagaimana bahwa menyimpan dirham dan dinar bukanlah perkara terlarang, meskipun Rasulullah saw tidak pernah mengerjakannya. Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah saw tidak mesti dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.

Dalam kasus mushafahah ini, memang ada perbedaan riwayat. Sebagian riwayat menyatakan bahwa Rasulullah saw seakan-akan melarang mushafahah, sedangkan dalam riwayat yang lain tidak. Namun, jika seluruh riwayat tadi dikumpulkan kita pasti akan berkesimpulan bahwa hukum mushafahah adalah ibahah.

Ketiga. Adanya riwayat-riwayat yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.
Imam al-Raziy dalam al-Tafsir al-Kabiir, juz 8 hal 137 menuturkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bait, sebagai pengganti dari Rasulullah saw.”
Diriwayatkan oleh Imam Thabaraniy bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti dari Rasulullah saw.”

Imam Qurthubiy di dalam al-Jaami’ al-Ahkaam al-Quran juz 18/71, juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw mengambil baiat dari kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah saw dan tangan wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah saw mengambil sumpah wanita-wanita tersebut.” Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah saw selesai membaiat kaum laki-laki Rasulullah saw duduk di shofa bersama dengan Umar bin Khaththab yang tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah saw membaiat para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan wanita-wanita itu.

Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah saw terhadap perbuatan Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah saw merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau saw pasti akan melarangnya.

Adapun kritik yang dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabiy terhadap keshahihan riwayat-riwayat Umar bin Khaththab bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahahnya Umar bin Khaththab dicantumkan di dalam kitab Fath al-Baariy karya al-hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy [juz 8/636], dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Al-Hafidz sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan kitabnya Fath al-Baariy, diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan para ‘ulama fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahnya Umar bin Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

3 komentar:

  1. nice info, tpi koq sya merasa aneh y...

    btw, bisa britau sumber tafsir hadits dan ayatnya g???

    thanks...

    BalasHapus
  2. pokoknya HARAM....
    TITIK!!!!
    biar temen2ku BERDOSA, sih..hehehe...habis sebel sama mereka dan keliatannya mereka BANYAK DOSA DEH...
    - gak pake jilbab
    - sering ngatain
    - sering nyontek
    - asal pegang bukan muhrim
    - cuek cuek
    - SANGAT SANGAT SANGAT SANGAT MALAS DAN JAAAARAAAANG SHOLAT WAJIB! IH...kok jadi curhat ya? hehehe..

    BalasHapus