Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, "…maka dari jalan
manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini
mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia
secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir berarti
bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur,
berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di
depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari
yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran
yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya
untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di
sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa- peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara
keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan
tahun serta menjauhkan diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah
menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan
sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang
dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan
kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal
kulit apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa
magma yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah
telapak kaki kita!

Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan
yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak
terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak
saudara, kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang
mereka baca, produser acara-acara TV dan professor mereka di
universitas tidak juga memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah ini.
Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk
mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana
ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila
diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola
api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi
pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus? Mari kita
berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa
bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung
dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut ruang
angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar
dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan
berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan
tidak mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan
kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika
berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam
jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat
hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di ujung
tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa
kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna
tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki
bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim
keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut
agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini,
memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan
kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh
adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang
diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan
contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini
satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami
bagaimana "kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia
dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir
sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah
mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan
pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini
adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun- temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika
ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera
menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama
ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan
tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah
yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan
anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa
pada suatu hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil,
rumah, ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada
melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka
memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui ajalnya.
Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah
kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut
berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan
selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah
kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa
manusia bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir
yang telah menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan
merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir
dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam
kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri
setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita
dalam Al-Qur'an :
"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka
Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22) Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak
mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia
dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan
segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya
secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka
beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan
tentram. Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk
merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental
atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk
mengetahui kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada
manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan
diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia.
Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang hakiki dari
segala peristiwa yang ada. Ia pun akan mampu memahami kebijaksanaan
dari apapun yang Allah ciptakan setiap saat.

0 comments:

Posting Komentar