Negara Indonesia merupakan negara yang sangat saya cintai, terutama dikarenakan saya lahir dan dibesarkan di negara ini jadinya saya harus bertanggung jawab menjaga keutuhan wilayah negara indonesia ini, dikarenakan Luasnya wilayah Indonesia yang sebenarnya dapat menjadi potensi yang sangat besar, ditambah lagi dengan tanahnya yang subur dan kekayaaan alamnya yang melimpah. Namun, akhir-akhir ini luasnya negeri yang dihuni oleh sedikitnya 200 juta jiwa itu justru rawan konflik yang dapat mengikis potensinya. Konflik yang sangat berbahaya dan harus mendapat perhatian serius adalah konflik yang mengarah pada separatisme, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon (Maluku), dan Papua. Saya tertarik untuk mempublikasikan kembali artikel ini untuk mengingat kembali tentang keselamatan wilayah Indonesia ini.

Gerakan separatis yang mengarah pada pemisahan diri dari Indonesia harus dicermati agar pintu masuknya penjajah, baik Amerika Serikat (AS), Inggris maupun Uni Eropa, dalam rangka mengendalikan Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Kita harus belajar dari kasus Timor Timur, di mana upaya internasionalisasi konflik domestik tersebut pada akhirnya mengokohkan intervensi negara-negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari wilayah induknya, Indonesia. Begitu diinternasionalisasi, maka persoalan tersebut sulit untuk ditarik kembali menjadi persoalan domestik. Ini tampak dari begitu sulitnya pemerintah untuk menarik kembali persoalan Aceh dan Papua menjadi sebatas persoalan domestik. Sementara itu, persoalan Maluku pun terus ditarik agar menjadi masalah internasional. Proses internasionalisasi persoalan ini harus kita waspadai karena bisa dijadikan sarana untuk memecah-belah negeri Muslim terbesar Indonesia, seperti yang terjadi terhadap Timor Timur.

Upaya Internasionalisasi Aceh, Papua, dan Maluku

Dalam kasus Aceh, kita memang tahu bahwa konflik yang berlangsung di sana telah berlangsung puluhan tahun. Sementara kebijakan yang dilakukan selama ini oleh pemerintah, terbukti kurang efektif. Ini terjadi karena persoalan Aceh adalah persoalan politik, yang semestinya tidak bisa hanya diselesaikan secara militeristik. Persoalan politik di Aceh jelas sekali tidak bisa dilepaskan dari campur tangan negara-negara imperialis asing yang terus-menerus memprovokasi terjadinya perlawanan di sana. Karena itu, selain penyelesaian secara militeristik, seharusnya pemerintah menempuh sejumlah manuver politik untuk membongkar apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh. Namun sayang, yang dilakukan justru sebaliknya. Pemerintah bahkan menyerahkan persoalan ini kepada lembaga-lembaga asing. Maka, tidak heran jika persoalan separatisme di Aceh akhirnya digiring untuk menjadi agenda internasional. Hal ini terlihat pada sejumlah fakta berikut ini:

1. Pimpinan GAM, Hasan Tiro berdiam di luar negeri, Swedia. GAM hanya mau melakukan pertemuan-pertemuan yang diadakan di luar negeri.

2. Adanya peran LSM The Henry Dunant Centre (HDC) dan negara-negara donor (AS, Uni Eropa, Jepang, dan Bank Dunia) yang memfasilitasi upaya penyelesaian secara kompromi antara pemerintah dan GAM. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa HDC adalah organisasi yang berpusat di AS. Sementara itu, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Muhammad Djali Yusuf, ketika itu (Juli 2002), pernah memberikan peringatan kepada LSM internasional HDC. Sebab, lembaga ini diduga telah menjadi mata-mata untuk kepentingan kelompok GAM (Kompas Cyber Media, 10/07/2002).

3. Bila sebelumnya yang menjadi mediator adalah HDC, kini dialihkan ke Uni Eropa yang dipimpin oleh Inggris.

4. Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan ditarik dari Aceh. Lalu, Uni Eropa akan mengirim sekitar 200 personel militer ke Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk tidak terkesan adanya pasukan asing, mereka sengaja mengenakan pakaian sipil. Jadi, yang menjadi penjaga keamanan di negeri ini sendiri, bukan lagi TNI, melainkan militer asing (Uni Eropa). Sungguh aneh.

5. Di Aceh sendiri, pasca tragedi tsunami telah hadir lebih dari 100 LSM asing. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa program utama mereka adalah mengubah pola mental dan struktur sosial masyarakat. Ujungnya, masyarakat Aceh yang memiliki kultur Islam dijauhkan dari kultur mereka dan dialihkan menjadi kultur sekuler. Untuk bisa melakukan upaya disintegrasi, negara-negara imperialis tersebut biasanya membentuk organisasi-organisasi yang terkesan non politis seperti misionaris, kemanusiaan, dan keilmuan. Mereka umumnya menggunakan baju LSM. Tentu saja organisasi ini hanyalah kedok belaka untuk memuluskan upaya negara-negara imperialis dalam melakukan disintegrasi di negeri-negeri Islam.

Ingat, ketika mereka dahulu memecah-belah Khilafah Islam. Negara-negara Kafir Imperialis itu sengaja mengirim agen-agen mereka dengan menyamar sebagai misionaris yang dengan terbuka bergabung dalam bebagai bentuk misi kemanusiaan dan keilmuan. Beberapa organisasi tersebut antara lain Association of Arts and Science (1842) yang berada di bawah perlindungan misi Amerika, the Oreintal Association (1880) yang didirikan oleh perwalian Jesuit Perancis, dan Syrian Scientific Assocation (1857) yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Arab.

Sementara konflik di Papua merupakan konflik paling kompleks yang pernah ada di Indonesia setelah merdeka. Di Papua, konflik politik, konflik adat, konflik ekonomi, dan konflik hukum bercampur-aduk menjadi satu. Ada sekitar 250 suku yang beragam di Papua; masing-masing bisa saling serang. Konflik politik di Papua ini jika tidak diatasi segera, bisa menjadi lebih buruk daripada konflik di Aceh. Dunia internasional lebih mudah menyambut Papua merdeka, ketimbang Aceh merdeka. Papua tidak membawa aroma Islam yang saat ini tidak disukai dunia Barat.

Belakangan ini bendera Bintang Kejora sering dikibarkan di Papua. Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua merupakan salah satu simbol Nasionalisme Papua yang menghendaki wilayah Papua Barat (Irian Barat/Irian Jaya) menjadi negara-bangsa (nation-state) yang merdeka dan berdaulat penuh. Nasionalisme Papua seperti ini pada awalnya dibangun oleh Pemerintah Belanda, terutama pada masa menjelang pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, bahkan sejak tahun 1945.

Sejak awal, pengibaran Bintang Kejora ini telah dilarang oleh pemerintah Indonesia. Bahkan larangan itu mengakibatkan meletusnya pemberotakan bersenjata pertama di Manokwari (26 Juli 1965) yang dimotori oleh Mandatjan dan Awom bersaudara dengan dukungan politikus senior John Ariks. Penyerangan terhadap kompleks TNI di Manokwari yang dilanjutkan dengan menjalarnya pemberontakan bersenjata ke seluruh wilayah Kepala Burung itulah yang dinyatakan sebagai hari lahirnya Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat, organisasi yang oleh Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan sering disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seorang doktor Ilmu Administrasi Negara lulusan Amerika Serikat, Thomas Wanggai, kembali mengibarkan Bintang Kejora secara atraktif di stadion Mandala Jayapura pada 14 Desember 1988. Demikianlah, sampai hari ini pengibaran Bintang Kejora masih terjadi di berbagai tempat di Papua.
Terlepas dari cara apa pun yang pernah dilakukan oleh PBB dan Indonesia dalam proses penyatuan kembali Papua Barat kepada Indonesia, proses politik dari sisi internasional sudah selesai. Pada Juli - Agustus 1969 di Papua diadakan Referendum 1969 atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pada Sidang Umum PBB (September-Oktober 1969), AS mendukung hasil Pepera yang menyatakan bahwa sebagian besar rakyat Papua memilih integrasi dengan Indonesia. Kemudian dikukuhkan PBB melalui Resolusi 2504 tanggal 19 November 1969. Sejak itu ada pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia yang mencakup Papua.

Tetapi, kini tuntutan pemisahan diri Papua dari Indonesia mencuat kembali. Peristiwa ini tampak tidak dapat dilepaskan dari upaya Barat, khususnya AS, yang selalu berada di belakang separatisme, bila hal itu bisa menguntungkan mereka. Hal tersebut diindikasikan antara lain oleh:

1. Kehadiran Sekretaris I Kedubes Amerika pada Kongres Papua dan kehadiran utusan Australia, Inggris dan negara-negara asing lainnya. Kongres Rakyat Papua yang berlangsung tanggal 29 Mei - 4 Juni 2000, menggugat penyatuan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia, dan PBB di masa Presiden Soekarno. Menurut kongres tersebut, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya kongres meminta dukungan internasional untuk memerdekakan Papua (Kompas, 05/06/2000). Selain itu, diduga keras telah terjadi pengiriman senjata-senjata untuk para propagandis separatisme di Irian Jaya (OPM) oleh Papua Nugini dan Australia.

2. Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62 - 63 jalan Timika - Tembagapura (Papua) pada 31 Agustus 2002. Peristiwa tersebut merenggut tiga nyawa karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI), masing-masing dua warga negara AS dan satu WNI, serta melukai 11 orang, satu di antaranya anak-anak, di wilayah kerja Freeport. Kasus ini terus diangkat oleh AS ke dunia internasional. Bahkan FBI dan CIA berdatangan ke Papua untuk mengusut peristiwa tersebut, termasuk kematian misterius Ketua PDP, Theys H Elluay. Sejak saat itu, persoalan Papua berhasil diangkat oleh AS untuk menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran HAM.

3. Bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Fretilin, Organisasi Papua Merdeka (OPM) memiliki wadah tingkat internasional, yaitu Unrepresented Nations and Peoples Organizations (UNPO) yang bermarkas di Belanda. Para pimpinan mereka sering melakukan pertemuan di markas UNPO. Jadi, gerakan separatis di Indonesia memiliki wadah koordinasi di tingkat internasional, di mana antar gerakan tersebut tidak berdiri secara terpisah.

4. Juli 2005, Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2601 yang memuat masalah Papua di Amerika. RUU itu sendiri telah disetujui Kongres AS dengan perbandingan suara 315 versus 78. Di antara isi RUU itu (section 1115) adalah adanya kewajiban menteri luar negeri AS untuk melapor kepada Kongres tentang efektivitas otonomi khusus Papua dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sekalipun pemerintah AS melalui Deplu AS yang disiarkan dari Washington DC, Jum'at (29/7/2005), menyatakan tidak mendukung disintegrasi Papua dari Indonesia, namun persetujuan mayoritas Kongres terhadap RUU tersebut menunjukkan AS akan mendukung pelepasan tersebut.

Sedangkan di Maluku, upaya separatisme oleh gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) juga menempuh upaya yang sama. RMS mewujud dalam wajah lain bernama Forum Kedaulatan Maluku (FKM). Upaya intersionalisasi persoalan domestik Indonesia juga tampak pada FKM di Maluku. Ketua FKM, Alex Manuputty, mengakui bahwa jaringan FKM yang aktif terdiri dari 50 orang yang tersebar di berbagai negara seperti Australia, Belanda, Jerman, Amerika, dan Eropa. Bahkan, kini Alex Manuputty dikabarkan kabur ke Amerika, dan bebas berkeliaran di sana. Sementara pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Internasionalisasi konflik yang terjadi di Maluku dengan turut campurtangannya Paus, PBB, dan berbagai pernyataan Amerika yang disampaikan berkali-kali, tidak lain adalah dalam rangka memisahkan wilayah Maluku dari Indonesia, dengan alasan bahwa mayoritas penduduknya adalah Kristen, seperti yang banyak dilansir oleh media massa yang tendensius. Semuanya itu menjadi catatan tersendiri, bahwa memang ada dukungan terhadap kelompok spratisme di Indonesia.

Semua fakta tadi menggambarkan dengan jelas, bahwa upaya internasionalisasi persoalan domestik Indonesia, khususnya persoalan disintegrasi, tampaknya memang merupakan agenda negara-negara Kafir imperialis Barat. Tujuannya jelas, agar dunia internasional mendukung disintegrasi tersebut seperti yang terjadi di Timor Timur. Sayangnya, pemerintah tidak bersikap tegas, dan melakukan manuver yang tepat untuk mengantisipasi persoalan tersebut.

Bahaya Disintegrasi

Harus diakui, salah satu nikmat terbesar yang diberikan kepada negeri-negeri Muslim, khususnya Indonesia, selain kekayaan alamnya yang melimpah, adalah penduduknya yang mayoritas Muslim. Siapa pun yang menghayati Islam akan menyaksikan, setidak-tidaknya ada lima potensi besar yang dimiliki umat Islam:

Pertama, Potensi Ideologis. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh ideologis AS adalah Islam. Carleton, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 M hingga 1600 M, menyatakan, "Peradaban Islam merupakan peradaban yang terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adidaya (super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera lain; dari iklim Utara hingga Tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku." (Carleton, Technology, Business, and Our Way of Life: What's Next). Begitu juga pemikir yang sangat dipercaya AS, Samuel Huntington, dalam The Clash of Civilitation, menulis, "Problem mendasar bagi Barat bukanlah fundamentalisme, tetapi Islam sebagai peradaban yang penduduknya yakin akan ketinggian kebudayaannya, tapi dihantui rendahnya kekuataan mereka saat ini." Bush sendiri saat akan menyerbu Afghanistan menyatakan, bahwa perang tersebut merupakan perang peradaban. Potensi ideologis inilah yang dipandang sebagai ancaman oleh negara Kafir Imperialis.

Kedua, Potensi Geopolitis. Kaum Muslim secara geografis menempati posisi strategis jalur laut dunia. Mereka menempati Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis seperti ini, kebutuhan dunia banyak ditentukan oleh umat Islam. Sebab, lalu-lintas internasional pasti akan melewati jalur laut tersebut. Jika seluruh wilayah kaum Muslim di dunia bersatu di bawah naungan Khilafah Islam, dan umat Islam berada dalam satu suara dan satu komando, niscaya mereka akan menjadi kekuatan adidaya. Inilah yang dianggap berbahaya oleh negara-negara besar yang mengemban ideologi Kapitalis saat ini. Dalam hal ini Indonesia merupakan salah satu negeri Muslim yang memiliki posisi geopolitis yang sangat strategis dalam percaturan internasional.

Ketiga, Potensi Sumber Daya Alam. Negeri-negeri Islam juga dianugerahi Allah dengan kekayaan alam yang melimpah; lembah, ngarai, hutan nan hijau, rempah-rempah yang melimpah, isi perut bumi berupa bahan tambang, minyak, dan gas bumi; kesuburan yang tiada taranya; laut dengan segala macam potensi yang ada di permukaannya, di dasarnya, maupun di perut buminya. Pendek kata, negeri kita, negeri kaum Muslim ini, dikurniai Allah SWT kekayaan yang luar biasa. Sebagai contoh, kekuatan ini pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak tahun 1973-1974. Embargo ini sempat mengguncang ekonomi AS dan Eropa. Potensi sumberdaya alam ini, di satu sisi dipandang sebagai bahaya yang dapat mengalahkan negara-negara besar; sementara di sisi lain merupakan lahan bagi negara-negara besar untuk memperkaya diri mereka. Sekali lagi, Indonesia merupakan negara yang amat kaya sumberdaya alamnya.

Keempat, Potensi Jumlah Penduduk. Memang, jumlah penduduk bukanlah faktor penentu kekuatan suatu negara. Namun bila umat Islam di seluruh dunia bersatu di bawah Khilafah, jumlah penduduknya akan menjadi penduduk terbesar dengan ideologi Islam. Tentu, ini merupakan kekuatan yang luar biasa. Realitas menunjukkan, bahwa Indonesia dengan penduduk 220 juta jiwa merupakan negeri Muslim yang berpenduduk terbesar di dunia.

Kelima: Potensi Militer. Harus diakui, bahwa saat ini kekuatan militer dunia Islam sangat bergantung kepada musuh-musuh mereka. Tetapi, secara kuantitas jumlah tentara di Dunia Islam sangat besar. Bila direkrut 1 % saja dari penduduknya yang 1,5 Milyar, akan didapat 15 juta tentara. Di Indonesia, bila 1% saja penduduk dewasa menjadi tentara akan ada 10 juta tentara. Karena itu, dapat dibayangkan betapa kuatnya jika mobilisasi pasukan militer ini dilakukan oleh sebuah negeri Muslim, apalagi negara yang bersifat internasional. Pada sisi ini pula, Islam dipandang sebagai ancaman bagi peradaban Barat yang kapitalistik. Dalam hal ini, Indonesia dipandang juga memiliki potensi tersebut.
Semua potensi ini memunculkan ambisi negara-negara barat, agar umat Islam tidak menjadi negara adikuasa yang dapat menghilangkan kezhaliman dan nafsu penjajahan mereka? Dengan kata lain, bagaimana agar Islam dapat dikebiri secara ideologis? Bagaimana agar geopolitisnya tidak dapat digunakan untuk membangun peradaban Islam, melainkan justru dapat digunakan untuk kepentingan Barat? Bagaimana agar sumberdaya alamnya tidak dapat dikelola untuk memenangkan persaingan ekonomi dengan mereka; sebaliknya dapat dikuras untuk kepentingan mereka? Bagaimana agar penduduknya tidak menjadi ancaman? Dan bagaimana agar tidak muncul kalangan militer yang memiliki kesadaran ideologis Islam dalam jumlah yang besar, yang rindu akan perjuangan Islam, dan tidak mengalami depresi dalam pertempuran, bahkan siap berjuang dengan prinsip "hidup mulia atau mati syahid"? Jawabannya hanya satu, yaitu umat Islam harus dibuat lemah. Agar umat Islam lemah, maka harus dipecah belah. Karena itu, dilakukan berbagai upaya untuk menciptakan disintegrasi di tengah kaum Muslim. Saat ini Umat Islam telah terpecah menjadi 56 negara. Bahkan dari negara yang kecil-kecil itu akan dipecah belah lagi dengan disintegrasi yang terus berjalan hingga sekarang. Indonesia kini sedang diarahkan pada terjadinya disintegrasi semacam ini. Tujuannya agar umat Islam semakin remuk, hancur berkeping-keping, dan bertempur dengan sesamanya. Umat Islam dibuat menjadi buih raksasa!

Karenanya, mudah diduga apa yang memotivasi Barat untuk melakukan disintegrasi atas negeri-negeri Islam. Persatuan negeri-negeri Islam jelas merupakan ancaman besar bagi negara-negara Kafir Imprialisme Barat. Apalagi jika persatuan itu dibangun atas dasar ideologi yang sahih, yakni mabda Islam yang berdasarkan akidah Islam; dengan penerapan hukum-hukum yang mulia dan agung yakni syariat Islam, di dalam sebuah naungan institusi politik, yaitu Khilafah Islam.

Memang, tak dapat dipungkiri telah terjadi kezaliman dan ketidak adilan atas hak-hak rakyat di berbagai daerah. Namun, kondisi semacam ini tidak dapat diselesaikan dengan upaya disintegrasi atau pemisahan diri dari wilayah kesatuan negeri Muslim. Pemecahan yang sahih adalah dengan menyingkirkan kezaliman tersebut dan menyetarakan hak-hak seluruh rakyat dengan baik. Kezaliman yang terjadi selama ini disebabkan karena tidak diterapkannya syariat Islam. Ajaran Islam memerintahkan penguasa untuk menegakkan keadilan atas seluruh wilayah dan seluruh lapisan masyarakat, meskipun mereka berbeda-beda suku dan keyakinannya. Islam memerintahkan untuk bersikap adil dan ihsan. Juga memerintahkan untuk berbuat baik dalam hal pengaturan dan memelihara seluruh urusan warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Sabda Rasulullah saw:
Dan seorang imam (Khalifah) adalah pemimpin atas (seluruh) rakyatnya. Dan ia bertanggung jawab atas (seluruh urusan) rakyatnya.

Wahai Kaum Muslim,

Kami menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, baik para ulama, cendekiawan, para pemimpin ormas Islam, politisi Muslim, budayawan Muslim, hartawan Muslim, wartawan Muslim, hakim Muslim, jaksa Muslim, dosen Muslim maupun mahasiswa Muslim, waspadalah dengan makar orang-orang yang ingin menggerogoti wilayah kita, dengan menciptakan disintegrasi di negeri kita. Bersatulah menghadapi makar itu dan berjuanglah untuk menyatukan negeri ini dan mempertahankan keutuhannya. Allah SWT mewajibkan kita untuk mempertahankan keutuhan wilayah negeri Islam, termasuk Indonesia, dan menyatukan seluruh negeri-negeri Islam yang lainnya. Kita harus terus mempertahankan keutuhan negeri Muslim yang ada, seraya berupaya menggabungkannya satu sama lain. Kita sadar, disintegrasi hanya akan semakin memperlemah Islam dan umatnya, yang menyebabkan langgengnya kezaliman. Kelemahan itulah yang diinginkan oleh negara imperialis Kafir. Pihak imperialis terus berupaya mengerat-erat negeri Muslim. Indonesia yang merupakan negara besar, kini tengah berusaha dipecah-belah.

Kami juga menyerukan kepada para jenderal dan prajurit Muslim serta para polisi Muslim. Bangkitlah dengan kekuatan yang saudara miliki untuk menjaga setiap jengkal negeri ini agar tidak lepas dari tangan kekuasaan kita. Janganlah negeri ini diserahkan kepada musuh-musuh kita, yang siang dan malam terus melakukan konspirasi untuk memisahkan wilayah negeri ini. Karena itu, jagalah perbatasan wilayah negeri kita ini dengan niatan yang ikhlas, semata karena Allah, niscaya kita akan menang, sebagaimana Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah, dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung. (TQS. Ali 'Imran [3]: 200).

Kepada semua komponen umat Islam, baik sipil maupun militer, janganlah saudara memberi kesempatan kepada penguasa seperti dulu, ketika mereka melepaskan Timor Timur dari negeri ini. Ingatlah, bahwa segala keputusan dan sikap kita hari ini akan berdampak di masa depan, di dunia maupun di akhirat kelak. Telah tampak di mata kita, tangan-tangan asing dan keterpecahbelahan umat. Semua itu akibat kita tidak berpegang teguh pada tali Allah SWT yang kokoh, yaitu Islam.

Janganlah kita membiarkan diri kita semakin tercabik-cabik! Jagalah keutuhan kita! Pertahankan kesatuan yang masih ada. Berjuanglah terus bersama para pengemban dakwah, yaitu orang-orang yang memiliki kesadasaran politik yang sahih, yang berjuang untuk menjaga keutuhan wilayah negerinya semata-mata karena Allah SWT. Hanya dengan itu, keutuhan wilayah kita akan bisa terjaga, dan negeri ini akan terbebas dari belenggu penjajahan negara-negara Kafir imperialis itu.

14 Agustus 2005
Hizbut Tahrir Indonesia

1 komentar:

  1. setuju sekali, sebagai warga bangsa indonesia kita harus selalu menjagannya..

    BalasHapus