Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di dalam benak saya. Waktu itu saya berpikir sebagai seorang muslim cukuplah sholat, zakat, puasa , shodaqoh, dan haji kalau mampu. Mungkin karena saya dibesarkan dalam keluarga islam tradisional seperti itu. Dan di keluarga saya memang berkembang pandangan bahwa jilbab identik dengan kalangan fanatik, ekstrimis, pengikut aliran tertentu dan sebagainya lah. Pokoknya orang biasa nggak perlulah menunjukkan kefanatikan beragama dalam hal berpakaian seperti itu.

Saya tidak pernah ikut lagi pengajian karena saat itu ada seorang ikhwan yang secara tegas tidak menyukai dan mengecam wanita yang tak berjilbab. Tapi entah kenapa tiba-tiba saya sangat tertarik untuk mengkaji al Qur,an sehingga diam-diam tiap hari saya selalu menyempatkan diri untuk membaca terjemahannya. Sampai saya temukan surat Al Ahzab: 59 tentang perintah untuk menutup aurat. Setelah itu, saya yakin bahwa kewajiban berjilbab itu datang dari Allah SWT dan saya bertekad untuk melaksanakannya.
Tapi tentu saja hal itu tidak mudah untuk dilaksanakan. Selain keluarga yang pasti sangat keberatan, saya sendiri masih merasa tidak pantas untuk memakainya. Mengaji saja masih belum lancar. Nanti malah malu-maluin, berjilbab kok tidak bisa mengaji.

Keinginan untuk berjilbab dengan berbagai tantangan itu akhirnya membuat saya hanya bisa pasrah semoga Allah menunjukkan jalan dan menjaga ketetapan hati saya.
Suatu hari sekolah kami mengadakan study tour ke beberapa kota. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah Intitut Teknologi Bandung . Saya melihat banyak kakak-kakak putri berjilbab. Subhanallah , mereka terlihat sangat anggun, damai, mantap, dan bangga dalam keislamannya.

Mungkin ini salah satu solusi bagi keinginan saya . Sejak itu saya bertekad untuk kuliah di ITB supaya bisa berislam dengan lebih baik dan posisi tawar jilbab di mata keluarga saya bisa terangkat.
Alhamdulillah tahun 1997 saya berhasil terdafatar sebagai salah seorang mahasiswa ITB.
Sebagai seorang perantau, saat itu saya masih kaget dengan kultur kampus yang sangat individualis sehingga membuat saya sibuk berusaha untuk bisa 'survive'. Dan selama semester I belum ada kemajuan yang berarti dalam keislaman saya. sampai datanglah Ramadhan 1418 H, saya ikut kepanitiaan P3R di Masjid Salman. tentu saja sebagai satu-satunya akhwat yang tidak berjilbab.

<>
9 Februari 1998, awal semeter II saya memutuskan untuk memakai jilbab. Seperti yang sudah saya duga keluarga saya pasti menentangnya. Ibu saya tiap hari menelpon, agar saya melepaskan jilbab karena Bapak sangat kecewa dengan keputusan saya. Ibu bilang bahwa jilbab itu hanya mode yang bisa saya tinggalkan dengan mudah. Ibu juga mengatakan bahwa Bapak tidak mau lagi berbicara dan akan mencabut semua biaya kuliah dan biaya hidup saya.

"Minta saja pada yang menyuruhmu memakai jilbab." kata Bapak. Bapak menganggap saya telah kehilangan akal sehat dan melakukan sesuatu tanpa pemikiran rasional lebih dulu. Saya memahami kekecewaan keluarga saya akan jilbab yang mereka pandang akan menghalangi aktivitas, membatasi pergaulan, kolot, akan menyulitkan mencari pekerjaan dan pasangan, ataupun ketakutan atas aliran-aliran berlabel Islam yang ujung-ujngnya menyebabkan seorang anak mengkafirkan orang tua. Dan Saya rasa ketakutan itu dikarenakan kasih sayang mereka pada saya.

Saya berkeras untuk berjilbab dan saya tidak mau melepaskannya lagi, meskipun ancaman itu mengkhawatirkan saya.Untungnya uang saku saya diberikan tiap awal semester, jadi saya masih punya kesempatan selama satu semester ini untuk memberikan pemahaman kepada mereka atas kewajiban berjilbab bagi umat islam.

Penjelasan itu hanya bisa saya berikan lewat surat karena bapak dan ibu tidak mau berbicara kepada saya. Saya jelaskan lewat surat-surat alasan-alasan, dasar pemikiran, keinginan-keinginan saya dan saya jelaskan juga bahwa sebenarnya pendorong terbesar saya untuk bisa masuk ke ITB adalah keinginan untuk berjilbab dan berislam dengan lebih baik. Saya ceritakan juga kegiatan saya selama di kampus baik kegiatan yang berhubungan dengan islam ataupun yang bukan. dan yang paling utama adalah doa dan akhlak yang baik yang akan saya tujukan buat mereka terus menerus, mulai saat itu.

Tak terasa satu semester berlalu. Meskipun mereka tidak pernah membalas surat itu. saya yakin suadah ada perubahan sikap dan pandangan pada mereka tentang Islam. Allahu Akbar! Alhamdulillah di suatu pagi yang cerah di ujung semester II ada telpon dari Ibu yang menanyakan kapan saya akan pulang. Tentu saja itu hal yang sangat saya inginkan… Pulang di saat liburan!
------------------
Menginjak semester III. Saya bertekad untuk makin mendalami Islam dan masuk ke dalamnya secara kaffah. Saya mulai berinteraksi dengan dunia Islam lewat buku-buku, majalah, sahabat-sahabat, majelis ta'lim, tilawah,tafakkur, tadabbur Qur'an, dan berusaha untuk mengambil hikmah dari berbagai kejadian dalam perjalanan hidup saya untuk sebuah perbaikan dan kemajuan.

Islam tidak akan mempersulit umatnya. Jilbab bukanlah penghalang aktivitas , Insya Alllah.. .Setidaknya itu bisa saya buktikan kepada keluarga saya lewat foto-foto 'gank ekspedisi kami' , empat orang muslimah pecinta alam ITB di puncak Gunung Rinjani, Gede-Pangranggo, Burangrang, dan Merbabu.

Islam juga merupakan sistem yang akan mengembalikan kemanusiaan manusia, lewat kekuatan akidah, keindahan akhlak dan utuhnya syari'at yang ditegakkan .
Jilbab merupakan gerbang untuk mengembalikan diri kepada fitrah kita dan sekaligus melahirkan sebuah konsekuensi untuk mengenal Islam lebih jauh, mengenal kewajiban dan hak-hak kita sebagai manusia dan hamba Allah dan mempersiapkan diri untuk menunaikannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Dan percayalah semua itu indah….dan keislaman yang benar adalah karunia yang terbesar. Insya Allah!
Jadi selamat datang di dunia keindahan….
……Allahu a'lam bishawab…. [MQMedia.com]

0 comments:

Posting Komentar