eramuslim - 28 Februari 1993, di Waco, Texas, 82 orang --diantaranya 34 wanita dan 29 anak-anak-- pengikut Sekte yang merupakan bagian dari Gereja Advent Hari Ke-7 yang dipimpin oleh David Koresh, memilih mati dengan ikut terbakar dalam sebuah gedung yang menjadi pusat kegiatan mereka saat dikepung oleh FBI. Setidaknya itulah salah satu versi cerita tentang kejadian di Texas, AS tersebut.

Kejadian itu sendiri kemudian menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang paling banyak muncul dibenak siapapun yang mendengar berita tersebut adalah, Mengapa ada orang-orang yang rela mati untuk sesuatu yang diyakininya?

Di Jepang hingga kini masih ada orang-orang yang melakukan harakiri, atau bunuh diri karena merasa harga dirinya hancur. Bagi mereka, mati jauh lebih terhormat daripada hidup menanggung malu. Caranya bisa beragam, ada yang menjatuhkan diri dari gedung berlantai, merobek perutnya dengan hunusan samurai atau dengan cara-cara lain yang penting bagi mereka adalah bisa secepat mungkin menemui ajal tanpa harus berlama-lama merasakan sakit.

1400 tahun sebelumnya, meski dengan semangat dan idealisme yang berbeda (tentu lebih mulia), para sahabat Rasulullah telah terlebih dahulu melakukan suatu tindakan dimana bagi mereka kematian bukanlah akhir dari kehidupan mereka, karena mereka begitu teramat yakin akan kehidupan sesudah mati yang jelas-jelas diyakini keabadiannya. Mereka rela mempertaruhkan kehidupan (mati syahid) untuk mempertahankan keimanan dan hidayah yang sudah mereka dapatkan -dimana tidak semua mendapatkannya- sebagai nikmat tertinggi yang diperoleh manusia dari Tuhannya.

Manusia, sebagaimana makhluk Allah yang lain mendapatkan nikmat untuk mencicipi kehidupan di dunia. Oleh karena itu, hinalah manusia yang semata melakukan segalanya untuk mempertahankan nikmat hidup ini, karena sesungguhnya hal seperti itu juga dilakukan oleh hewan atau makhluk lain selain manusia. Manusia-manusia yang sadar akan betapa rendahnya nikmat hidup itu, tentu akan rela kehilangan nikmat tersebut jika harga diri, kemerdekaan, hak-ahak azasinya diinjak-injak atau diinvasi. Sebagai muslim, tentu juga akan merasa terusik jika saudara muslim yang lain hak-hak nya terjajah sebagai perwujudan bahwa muslim bagaikan satu tubuh. Maka bagi mereka, mati adalah jalan terhormat karena kebebasan merupakan nikmat yang lebih tinggi dari sekedar nikmat hidup.

Tidak sampai disitu, pada satu kesempatan ada masa dimana nikmat kebebasan tidak lagi bermakna terlebih jika masih mengkedepankan indahnya kebebasan disaat keimanan -disadari ataupun tidak- tergerus oleh kekejaman kebebasan itu sendiri. Maka kemudian ada orang-orang yang lebih memilih berada dibalik jeruji-jeruji penjara menggadaikan nikmat kebebasannya untuk mempertahankan nikmat tertinggi mereka, yakni nikmat Iman. Hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi Allah, Yusuf alaihi salam yang dengan tegas mengatakan, "Penjara lebih aku cintai daripada melakukan sesuatu yang membuat Allah murka" saat setelah ia digoda Zulaikha.

Sebagai makhluk yang oleh Allah diciptakan dengan bentuk yang sempurna dengan keutuhan akal, ruh, dan jasad dan dipilihnya manusia sebagai khalifatu fil ardh, Tentu Allah tidak salah memilih manusia untuk mengemban tugas terhormat di bumi setelah sebelumnya langit, bumi dan bukit-bukit bergetar ketakutan menolak ketika diamanahkan tugas yang sama oleh Allah. Pilihan itu jatuh kepada manusia karena pada manusia lah didapatkan dua sifat Allah, sifat keagungan, kebesaran Allah dan sifat Keindahan, Kasih Sayang, Kemahapemurahan Allah.

Menurut Ibnu Arabi, semua makhluk Allah -selain manusia- hanya membawa satu saja dari dua sifat Allah swt. Halilintar, misalnya, hanya membawa dalam dirinya sifat Kebesaran dan Keagungan Tuhan saja. Sementara yang lainnya, hujan, hanya membawa sifat Kasih Sayang atau Kemahapemurahan-Nya. Tapi pada diri manusia ada potensi untuk menggabungkan kedua dimensi itu. Karena, manusia bukan saja khalifah, melainkan juga seorang abdi. Dalam posisinya sebagai hamba, manusia sama seperti makhluk-makhluk Allah yang lain. Pada posisinya sebagai khalifah, ia menonjol dibanding makhluk-makhluk yang lain. Manusia memiliki berbagai keistimewaan.

Namun, meski berbagai keistimewaan dimiliki manusia dengan kelebihan penciptaan yang lebih sempurna oleh Allah swt tersebut, uniknya masih saja banyak saja manusia yang lebih rela menggadaikan nikmat yang jauh lebih tinggi sekedar untuk menikmati hidup didunia yang fana ini, sementara mereka tidak menyadari keimanan mereka terus tergerus, sementara saudara-saudaranya dibelahan bumi yang lain berlomba-lomba menjual nikmat hidup tersebut untuk menebus kemerdekaan mengusung keimanan. Mereka, tentu sudah sangat mampu mengendalikan kehidupan dan bukan dikendalikan oleh hidup.

Maka tidaklah salah ketika Rasulullah mensinyalir bahwa ada satu masa dimana musuh-musuh Allah tidak merasa takut dan gentar dengan ummat muslim yang jumlahnya begitu banyak. Hal itu karena ummat saat itu dihinggapi penyakit al-wahnu, cinta dunia dan takut mati. Yang demikian ini tentu berlawanan dengan cerita yang juga dari Rasulullah tentang Nabi Ibrahim as ketika nyawanya mau diambil. Ibrahim bertanya kepada Malaikat Maut, "Apakah seorang Kekasih akan mematikan kekasihnya?" Lalu Tuhan menjawab melalui Malaikat Maut, "Apakah engkau berpikir bahwa seorang pecinta tak ingin berjumpa dengan kekasihnya?" Ibrahim kemudian berkata, "Kalau begitu, sekarang ambillah nyawaku!" Karena itulah, dalam Al Qur'an surat Al Jumu'ah ayat 6 disebutkan: Maka harapkanlah kematian jika kalian betul-betul cinta. Kematian adalah tanda cinta yang sejati. Kalau orang sudah mencintai kematian, itu artinya ia sudah memiliki kecintaan kepada kepada Allah swt. Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)

2 komentar:

  1. Jangan takut mati.
    Mati itu udah takdir.

    BalasHapus
  2. Orang yang mengharapkan panjang umur adalah orang yang hidupnya selalu dipenuhi dengan kebaikan, sementara kita yang cendrung selalu salah masih pantaskah berdoa meminta panjang umur ????

    salam kenal dari : http://myrazano.com

    ditunggu kunjungannnya

    terimakasih

    BalasHapus